Self Healing

Self Healing

Oleh M. Aqilsyah (Divisi Kaderisasi YI-LEAD)

 

Gimana mau bahagiain orang lain kalo diri kita sendiri gak bahagia?

Hati dan pikiran kamu butuh istirahat.

Gak apa-apa, semua orang berhak nentuin life journey mereka.

Let it flow aja, nikmatin prosesnya.

Kira-kira itulah beberapa kalimat yang akhir-akhir ini sering banget kita dengar dalam berbagai forum. Terutama di kalangan anak sekarang. Kalimat ini dikatakan dan dibutuhkan bagi orang-orang yang merasa hidupnya gitu-gitu aja, cenderung merasa tekanan hidup semakin berat. Fenomena maraknya kajian self-healing, self love, self proud, insecurity, disamping efek positif yang dihasilkan, karena setidaknya, justru ini melahirkan kembali ghirah hidup orang-orang yang merasa putus asa dan menyerah pada kehidupan.

Namun, dibalik positifitas yang dihasilkan, justru ini menjadi sesuatu yang seharusnya patut dikhawatirkan juga. Meningkatnya fenomena ini mengkonfirmasi bahwa manusia pada hari ini memiliki banyak masalah terkait kejiwaan. Selain mengkonfirmasi meningkatnya masalah kejiwaan pada manusia, ini juga mengkonfirmasi kegagalan para penguasa,memberikan kesejahteraan bagi yang dipimpinnya.

Dalam masalah ini ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan. Tetapi kata kuncinya adalah “kebahagiaan”. Sedangkan setiap orang memiliki definisi kebahagiaan masing-masing. Makanya tidak heran narasi yang muncul adalah “lo gak bisa bahagiain orang, kalo diri lo sendiri gak bahagia”. Tetapi, faktanya adalah banyak orang yang akhirnya salah menempatkan kebahagiaannya. Ditambah lagi, kita tumbuh besar pada zaman dimana semua orang semakin bebas mengemukakan pendapatnya. HAM katanya.

Nah, ketika melihat fenomena ini saya jadi teringat apa yang terjadi pada abad 14-17 atau yang dikenal dengan periode renaisans. Renaisans inilah diantara yang mewariskan pemikiran yang disenut dengan humanis.

Pada zaman itu pula akhirnya sekularisme dan atheisme diwariskan. Ya, akar pangkalnya ada pada kata humanis sendiri. Meskipun pada awal nya tokoh-tokoh humanis ini tidak menghendaki manusia untuk menjauh dari agamanya. Karena pada awalnya, para tokoh-tokoh seperti Francesco Petrarch (1304-1374) yang banyak merujuk kepada pemikiran orator Romawi kuno yaitu Cicero.

Petrarch mengkritik para teolog dan agamawan sebagai “orang yang sibuk mengamati pepohonan tapi melupakan keindahan hutan keseluruhan”. Hal ini dimaksudkan bahwa pada abad pertengahan (abad 14) saat itu para teolog mempunyai semangat keagamaan yang menggebu, namun lupa pada nilai kehidupan, kemanusiaan, bahkan hakikat dasar agama itu sendiri.

Singkatnya, karena pada zaman itu gereja-gereja sangat membatasi akal manusia. Gerakan-gerakan gereja justru menghambat kemajuan terutama ilmu pengetahuan. Bahkan gereja pun melarang umat mereka untuk membaca alkitab mereka sendiri. Pada saat itu, barat benar-benar berada pada masa kegelapan.

Manusia pun akhirnya dibuat pasrah dan semakin terpuruk akibat doktrin yang menekankan bahwa kehidupan manusia pada hakikatnya sudah ditentukan oleh Tuhan, maka tujuan hidup manusia adalah mencari keselamatan. Dari sinilah humanisme itu muncul yang berasal dari kata human yang berarti manusia. Maka,  humanisme dimaknai dengan menekankan bahwa martabat manusia diatas segalanya, serta menjadikan kepentingan manusia sebagai ukuran kebenaran yang mutlak. Singkatnya, bertujuan untuk mengembalikan hakikat penciptaan manusia.

Dapat kita lihat, fenomena yang terjadi pada hari ini memiliki akar masalah yang mirip dengan yang terjadi pada masa tersebut. Meskipun, pada dasarnya para pemikir periode  awal ini tidak ingin melepaskan kaitan manusia dengan agamanya, justru disalah artikan dengan makna “kepentingan manusia adalah ukuran mutlak kebenaran. Sehingga menjadi semakin liarlah definisi humanisme ini. Lalu, lahirlah aifat-sifat individualisme, materialisme, kapitalisme. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan ilmu pengetahuan yang di cita-citakan pun juga beriringan dengannya.

Apa yang terjadi pada hari ini, tidak lah jauh berbeda dengan hari itu. Sebagaimana firman Allah dalam Ali Imran 140 bahwa demikianlah Allah mempergilirkan hari-hari tersebut diantara manusia. Adapun tujuan dari Allah mempergilirkan hal ini adalah agar kita yang beriman meyakini bahwa masa kehancuran akan diganti dengan kejayaan. Melalui hal ini juga lah Allah menyisihkan si kafir dengan si mukmin.

Hari ini kita dituntut untuk berfikir dengan cara memaklumi segala sesuatu atas dasar rasa manusiawi. Bahkan termasuk kesalahan fatal seperti seks bebas, free lifestyle. Semuanya dibenarkan jika itu dikaitkan dengan kebutuhan manusia. Akhirnya manusia terlena dengan cara berfikir menikmati hidup padahal mereka belum mempelajari definisi kehidupan mereka, mereka belum tahu keberadaan mereka untuk apa di dunia, mereka belum mempelajari asal-usul mereka. Bagaimana bisa kita menjadikan kebahagiaan hidup itu sebagai tujuan sebelum kita tahu darimana kita berasal?

Kebanyakan dari kita salah memahami, salah kaprah memaknai hal ini. Kebablasan. Kehilangan orientasi hidup. Karena orientasi mereka hanya pada kehidupan saat ini saja. Keresahan mereka adalah ketika kebahagiaan itu berakhir. Disinilah celah itu. Atas nama self-healing, self-love, self-proud. Dan ternyata solusi yang paling banyak ditawarkan adalah kebebasan mencari kebahagiaan.

Bibit-bibit pemikiran seperti ini harus dibuang dan jangan dibiarkan tumbuh dengan liar. Kebahagiaan di dunia ini palsu adanya. Melemahkan mental, merusak pola pikir, mematikan daya juang. Jangan sampai orientasi hidup manusia hanya berakhir pada kebahagiaan diri sendiri.

Self-healing yang sebenarnya adalah dengan Al-Quran. Dia akan mengembalikan fitrah kehidupan yang telah diberikan kepada anda. Kehidupan anda, keberadaan anda, bahkan kematian anda pun, tidak satu pun terdapat hak milik anda. Bagaimana mungkin kita menentukan sendiri kebahagiaan hidup kita, kalau hidupnya kita pun sebenarnya bukan milik kita. Tidak ada kepemilikan kita didalamnya. Kebahagiaan hidup kita di dunia adalah hak-Nya.

Kebahagiaan hakiki adalah ketika pemberi kehidupan itu ridha kepada kita. Maka, raihlah cinta-Nya. Bukankah ketika kita mencintai sesuatu, kita akan rela melakukan apa saja untuk yang kita cintai? Apalagi Allah. Bahagia kita ada di tangan Allah. Carilah kebahagiaan itu di jalan Allah. Jangan tanyakan kebahagiaan anda pada diri anda sendiri. Carilah ridha Allah, maka kebahagiaan kita akan mutlak dan kekal dibuatNya.

Kalau anda ingin bahagia, tentukan dulu sumber kebahagiaan anda. Satu-satunya yang bisa memberi kita kebahagiaan Dialah satu-satunya yang memberi kita kehidupan.

 

image source: dutatv.com

Leave a comment

Sosial Media

Instagram@youngislamicleader
Twitter@PemimpinQu
FacebookYoung Islamic Leader

Hubungi Kami

admin@youngislamicleaders.idSekretariatyilead@gmail.com

Channel Youtube