Oleh Jemmy Ibnu Suardi
Toleransi seolah menjadi kata magis untuk memberikan ruang lebih besar bagi kebatilan. Dengan alasan melindungi minoritas, Toleransi menjadi alat pemukul bagi mereka yang konsisten melakukan dakwah amr ma’ruf nahyi mungkar.
Keinginan Yaqut, Menag baru untuk mengafirmasi Ahmadiyah dan Syi’ah adalah perbuatan berbahaya yang akan mengacaukan kehidupan berbangsa dan bernegara. Terlebih Yaqut bersyahwat ingin merevisi SKB 3 Menteri tentang pelarangan Ahmadiyah yang menurutnya merugikan kaum minoritas.
Kaum minoritas disini siapa? Yaqut merujuk kepada komunitas Ahmadiyah dan Syi’ah yang menurutnya selalu mendapatkan tindakan diskriminasi dari mayoritas. Apakah benar mereka minoritas atau aliran menyimpang yang secara kuantitatif sedikit, kemudian di eksploitasi seolah-olah menjadi minoritas?
Dalam satu kesempatan, Prof. Utang Ranuwijaya, Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia dengan tegas menyebut Ahmadiyah dan Syi’ah sebagai gerakan transnasional menyimpang berbahaya yang mengancam kehidupan kerukunan umat beragama di Indonesia. Ungkapan Profesor asal Banten ini disampaikan dalam seminar komisi dakwah khusus beberapa minggu silam.
Memang jika penyimpangan dan kebatilan mendapatkan ruang lebih maka penyimpangan dan kebatilan tersebut bukan lagi menjadi minoritas, melainkan menjadi mayoritas. Tatkala penyimpangan dan kebatilan menyebar luas menjadi mayoritas namun tak ada yang bersuara lantang untuk menolaknya, maka kehancuran dan kekacauan dalam beragama akan terjadi.
Toleransi bukanlah membiarkan seseorang atau suatu kelompok bebas untuk merusak agama dan membiarkan menyebarluasnya kebatilan. Kebatilan menjadi mayoritas memang tidak hanya terjadi kemarin sore, dalam lintasan sejarah yang panjang, pernah beberapa kali kebatilan dan penyimpangan mendominasi dan menjadi mayoritas.
Katakanlah saat Namrud berkuasa dan menjadikan kebatilan sebagai mayoritas berhadapan dengan nabi Ibrahim sebagai minoritas. Begitupula Fir’aun dimana kebatilan mayoritas merajalela berhadapan dengan nabi Musa sebagai minoritas. Namun apakah lantas Namrud lebih mulia daripada Nabi Ibrahim? Atau Fir’aun lebih mulia daripada Nabi Musa?
Toleransi semacam ini bukanlah sebenar toleransi, dia adalah psuedo toleransi, toleransi palsu, toleransi bohong-bohongan. Dalam hal kerukunan umat beragama, Islam sejak awal kemunculannya adalah sebuah agama dan peradaban yang paling toleran di muka bumi. Konsep-konsep dasar Islam jelas tertulis dalam konstitusi rabbani yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, dimana tidak ada paksaan dalam beragama (QS. Al-Baqarah: 256)
Koeksisteni agama-agama dalam Islam sejak zaman Nabi Muhammad SAW sampai hari kiamat memiliki ruang khusus tersendiri, dimana eksistensi mereka selalu dilindungi selama tidak merusak dan mengganggu tatanan kehidupan di masyarakat. Bahkan ketika komunitas Yahudi bahkan, yang terusir di Barat, mendapatkan perlindungan dalam pemerintahan Islam. Namun ketika terjadi penyimpangan dalam Islam, maka Nabi Muhammad dan para Sahabat yang mulia, beserta Khalifah-khalifah yang mengikutinya tidak segan-segan melakukan tindakan tegas.
Bukankah ketika muncul kebatilan dari nabi-nabi palsu, seperti Musailamah Al Kadzab maka mereka diperangi dan dibasmi? Bukan dihargai dan diberikan ruang sebagai minoritas dan dijaga eksistensinya. Bukankah tatkala muncul kebatilan, berupa keengganan sebagian orang untuk berzakat oleh Amirul Mukminin Abu Bakar Siddiq kemudian diperangi, bukan malah dibina diberikan ruang khusus sebagai minoritas.
Islam sangat menghargai perbedaan, dan toleransi umat Islam teruji dan diakui sepanjang zaman. Namun saat muncul kebatilan maka umat Islam akan bereaksi secara alamiah untuk menjaga dan melindungi akidahnya.
Imam Al-Ghazali Dalam kitabnya, Ihya’ Ulumiddin, yang dikutip oleh Dr. Adian Husaini menekankan, bahwa aktivitas “amr ma’ruf dan nahi munkar” adalah prioritas utama dalam urusan agama. Ia adalah sesuatu yang sangat penting, dan karena misi itulah, maka Allah mengutus para nabi dan rasul ke muka bumi. Jika aktivitas ‘amr ma’ruf nahi munkar’ dihilangkan dengan dalih toleransi, maka syiar kenabian akan hilang, agama menjadi rusak, kesesatan tersebar, kebodohan akan merajelela, satu negeri akan binasa. Begitu juga umat secara keseluruhan.
image source: muslimahnews.com