Oleh Jemmy Ibnu Suardi (Sekjen Young Islamic Leaders)
Beberapa tahun belakangan, Kementerian Agama Republik Indonesia sarat dengan muatan kontroversi. Mulai dari isu korupsi sampai isu radikalisasi. Beberapa menteri ditangkap KPK, sebut saja Said Agil Husein Al Munawar dan Suryadharma Ali, di era menteri Lukman Hakim Saifuddin, Kantor Kementerian Agama sempat disegel karena terindikasi korupsi. Amat disayangkan sebuah Kementerian yang mengurus secara khusus soal-soal agama, justru paradoks, melenceng dari nilai-nilai agama yang luhur.
Dalam hal isu keagamaan, tiga Menteri Agama, sejak zaman Lukman Hakim Saefuddin sampai Yaqut Cholil Qoumas sering mengeluarkan pernyataan dan tindakan yang kontraproduktif, bahkan tidak jarang menyakiti hati umat Islam. Misalnya Lukman pernah menyatakan orang yang berpuasa harus menghormati orang yang tidak puasa, agama Baha’i sedang dikaji untuk ditetapkan sebagai agama ketujuh, pembacaan Al-Qur’an dengan langgam jawa, dan merilis daftar 200 mubaligh.
Penggantinya Fachrul Razi tidak kurang kontroversi, mulai dari pelarangan penggunaan niqab/cadar, sertifikasi da’i, majelis taklim harus mendaftarkan diri, menghilangkan konten-konten pelajaran Islam yang terkait dengan khilafah, dan pernyataan “good looking”.
Bahkan, Yaqut Cholil Qoumas yang baru saja diangkat sebagai menteri agama baru menggantikan Jenderal Fachrul Razi, dalam hitungan jam mengeluarkan pernyataan kontroversi, “agama sebagai inspirasi bukan aspirasi”, dan akan “mengafirmasi kelompok menyimpang Ahmadiyah dan Syi’ah”. Alih-alih Kementerian agama menjadi sumber kejernihan dan ketenangan malah menjadi sumber kegaduhan yang tidak perlu.
Jika kita lihat secara historis, Kementerian Agama yang dibentuk 3 Januari 1946, sejatinya sarat dengan muatan Islam, dan memang bertujuan untuk mengakomodir seluruh kepentingan umat Islam, yang banyak ditelantarkan semasa hidup dizaman kolonial.
Dalam website resmi Kementerian Agama, diterangkan bahwa usulan pembentukan Kementerian Agama pertama kali disampaikan dalam sidang BPUPKI, 11 Juli 1945. Kala itu, diusulkan perlu dibentuk departemen istimewa yang terkait urusan agama, yakni Kementerian Islamiyah. Kementerian ini, akan memberi jaminan kepada umat Islam yang merupakan penduduk mayoritas di Indonesia. Namun, usul pembentukan Kementerian Islamiyah tidak memperoleh respon yang cukup.
H. Endang Saifuddin Anshari dalam bukunya Piagam Jakarta 22 Juni 1945 menguraikan tentang perjalanan panjang dibentuknya Kementerian Agama. Dalam Sidang Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) November 1945, yang dipimpin oleh Sutan Sjahrir membahas tentang usulan berdirinya Kementerian Agama. Dengan dukungan beberapa anggota KNIP, seperti Muhammad Natsir, Dr. Muwardi, dr. Marzuki Mahdi, M.Kartosudarmo dan lain-lain, diterima oleh Muhammad Hatta, dan disetujui Soekarno, akhirnya kementerian Agama dibentuk 3 Januari 1946 dan dipimpin oleh H.M Rasjidi, seorang ulama, tokoh Masyumi dan Muhammadiyah yang saat itu berusia 31 tahun.
Berdirinya Kementerian Agama adalah bagian dari “a consession to the Muslim“. Sekjen Kementerian Agama, R.M. Kafrawi pada tahun 1953 menyatakan bahwa “…. pembentukan Kementerian Agama di Indonesia dihasilkan dari suatu kompromi antara teori sekular dan Kristen tentang pemisahan agama dengan negara, dan teori Muslim tentang penyatuan antara keduanya…. jadi, Kementerian Agama itu timbul dari formula Indonesia asli yang mengandung kompromi antara dua konsep yang berhadapan muka: sistem Islami dan sistem sekular“.
Secara politis, Kementerian Agama dianggap sebagai hadiah untuk umat Islam, menyusul dihapuskannya tujuh kata penting dalam Pembukaan UUD-45 “… dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya“.
Delapan tahun setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 terdapat Keputusan Menteri Agama No.56/1967 tentang perincian struktur organisasi, tugas, dan wewenang Departemen Agama, yang antara lain menyatakan: “Tugas Departemen Agama dalam jangka panjang ialah melaksanakan Piagam Jakarta dalam hubungannya dengan UUD“.
Sebagaimana kesimpulan B.J Boland dalam bukunya berjudul The Struggle of Islam in Modern Indonesia menyatakan bahwa “Thus the new Indonesia came into being neither as an Islamic State according to orthodox Islamic conception, nor as a secular state which would consider religion merely a private matter“.
Oleh karenanya, pembentukan dan eksistensi kementerian agama itu tidak dapat dipisahkan dari jiwa dan semangat Piagam Jakarta khususnya, dan dari perjuangan konstitusional para nasionalis Islami dalam bidang konstitusi dan pemerintahan umumnya.
Sebagai hadiah untuk umat Islam, sudah semestinya Kementerian Agama fokus pada pengembangan dan memajukan Islam, dengan mendorong seluruh umat Islam Indonesia untuk mengamalkan syariat Islam sepenuhnya dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bukan justru kontraproduktif dengan menyerang umat Islam itu sendiri.
image source: detik.com