Kebenaran Yang Dipertarungkan

Kebenaran Yang Dipertarungkan

Oleh Nofa Nur Rahmah

Seorang ibu belanja daging dipasar, ia terhenti di tukang daging A, melihat dan memperhatikan dagingnya, si ibu curiga, dalam pengetahuannya ciri-ciri daging yang ia perhatikan ini adalah daging babi, sampai akhirnya ia tanyakan kepada pedagang, “Bang, ini daging apa?” pedagang berkata “Ya daging sapi lah bu”, ibu itu tidak yakin dengan jawaban pedagang, Si ibu bertanya kembali, “ Ah yang benar bang, kok ciri-cirinya seperti daging babi, saya tau ciri-cirinya bang” pedagang dengan bersuara agak tinggi, “Bener bu, masa saya jual daging babi bu, ga mungkin lah, sayakan Islam bu” kemudian pedagang disekelilingnya ikut bersuara membenarkan bahwa daging itu daging sapi. Akhirnya si ibu ragu dengan keyakinannya, dan membeli daging babi yang di campur sapi tersebut.

 “Benar atau salah, baik atau tidak baik itu sifatnya relatif, tergantung siapa yang memandang.” Pernyataan tersebut tampaknya yang terjadi sekarang di negri ini. Kebenaran dan kebaikan akhirnya diputuskan oleh publik. Sesuatu  yang baik belum tentu benar, namun sesuatu yang benar sudah pasti baik, kita harus sepakati dulu itu!

Pasalnya seseorang yang benar belum tentu dinilai baik, contohnya jika orang tersebut menegakkan kebenaran ditengah masyarakat yang melakukan kebathilan hingga menimbulkan kotroversi ia bisa saja disebut jahat, karena menganggu HAM misalnya. Nilai-nilai baik dalam masyarakat tergerus dengan hilangnya parameter kebenaran. Terlebih lagi maraknya media masa  dalam mempublikasikan ‘content’ memiliki peranan yang sangat strategis dalam membentuk nilai baik dan benar tersebut.

Lantas jika seperti ini, maka kejahatan dapat menjadi sebuah kebenaran dan sebaliknya, kebenaran dipandang sebagai sebuah kejahatan, tergantung dari kesepakatan masyarakatnya. Alih-alih mengangkat tema perdamaian, toleransi, bahkan Hak Asasi Manusia untuk memanusiakan manusia yang menjadi pembelaan untuk sebuah pembenaran dari kejahatan, justru akan menghancurkan sosial budaya negri ini.

Tanah air kita diakui akan keramahan dan keberagamannya, namun jangan jadikan keramahan ini menjadi penilaian bahwa, jika kita dipukuli, maka kita akan tetap tersenyum  dan berdiam saja. Nusantara ini terlalu indah untuk dirusak dengan kemajuan peradaban yang sebenarya tidak beradab. Nilai-nilai agama masih terpatenkan sebagai ideologi bangsa, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Karenanya, Nilai kebenaran sudah semestinya dikembalikan pada ajaran agama. Bukan diputuskan diruang publik. Berani berkata benar adalah benar dan salah adalah salah dilihat dari hukum agamanya, karena bangsa ini adalah bangsa yang beragama. Kebebasan memang dijamin dalam negara demokrasi, dan Indonesia merupakan negara demokrasi, akan tetapi jika kebebasan yang kebablasan maka, perlu ada hukum untuk mengontrolnya. Aparat hukum hanya berperan sebagai eksekutor, peranan ulama dan tokoh agama lainnya tidak dapat diabaikan. Kenapa? Karena kita Bangsa Indonesia yang memiliki ideologi pancasila dengan sistim demokrasi, bukan demokrasi kebablasan, tapi demokrasi Teistik, meminjam istilah dari Muhammad Natsir perdana mentri pertama bangsa ini.

Leave a comment

Sosial Media

Instagram@youngislamicleader
Twitter@PemimpinQu
FacebookYoung Islamic Leader

Hubungi Kami

admin@youngislamicleaders.idSekretariatyilead@gmail.com

Channel Youtube