Vaksinasi berdasarkan kbbi.kemdikbud.go.id adalah penanaman bibit penyakit (misalnya cacar) yang sudah dilemahkan ke dalam tubuh manusia atau binatang (dengan cara menggoreskan atau menusukkan jarum) agar orang atau binatang itu menjadi kebal terhadap penyakit tersebut. Jadi, kita bisa guyon, “supaya orang yang tidak takut dikasih bibit penyakit, bilang aja namanya vaksin”.
Ada hal yang menarik dari diskusi tentang pembahasan vaksin, apakah ini sebuah pervensi atau konspirasi. Hal menariknya adalah seluruh peserta yakin bahwa vaksinasi merupakan langkah pervensi bukan konspirasi. Terlihat dari diskusi yang berjalan tidak adanya peserta yang menyanggah sedikitpun ataupun meragukannya. Tidak ada pengungkapan terhadap teori-teori konspirasi seputar vaksin sedikitpun yang di utarakan. Sebagai pengenalan kelompok diskusi ini terdiri dari kalangan pelajar/mahasiswa, guru, pekerja kantoran ataupun swasta.
Kita dapat mengambil hipotesa bahwa sebenarnya masyarakat Indonesia yang terpelajar sudah mengerti dan teredukasi dengan baik tentang vaksinasi. Karena jika kita lihat kembali kepada arti vaksinasi di atas, maka jika tidak ada penjelasan yang memadai akan muncul pertanyaan “Kok bisa?, memasukkan bibit penyakit ke dalam tubuh kita jadi sehat, malahan kita bakal sakit.”
Kemudian ada anggapan bahwa kalau orang tua kita dulu ga divaksin, sehat-sehat aja. Analisa dari Yanita Utami bisa kita ambil sebagai salah satu jawabannya. Metabolisme tubuh orang zaman sekarang berbeda dengan orang dahulu. Perbedaannya terletak padak makanan yang dikonsumsi. Orang zaman dahulu memakan makanan dari bahan alami tanpa olahan yang terlalu banyak, sedangkan sekarang kebanyakan kita makan makanan cepat saji.
Yanita Utami menarasikan sebuah kisah tentang orang tua yang bangga anaknya tidak vaksin dan terbukti sehat-sehat saja. Kemudian orang tua tersebut menjadi target untuk peng-edukasian tentang herd immunity. Penelitian menjukkan bahwa divaksin bukan berarti kebal dan terbebas dari kena sakit/virus/bakteri tersebut, melainkan bisa juga artinya mengurangi gejala ketika terkena. Adanya perbedaan antara subjek yang divaksin dengan yang tidak divaksin. Menunjukkan bahwa, jika terdapat dua orang yang terkena penyakit yang sama tapi yang satu divaksin dan yang lainnya tidak. Maka gejala yang ditunjukkan dari yang tidak mendapatkan vaksinasi lebih parah dari pada yang divaksin.
Lain dari kisah diatas, ada narasi yang menarik disampaikan oleh Aqil. Adanya berita tentang orang yang alergi dengan vaksin. Tapi sebenarnya kejadian ini sangat jarang sekali terjadi dan bukan hal yang baru di dunia vaksin. Dahulu ada penerapan wajib vaksin dan muncul resiko alergi terhadap vaksin dan obat-obatan tersebut. Analogi terbaiknya adalah “orang aja bisa alergi sama sabun atau krim malam, apalagi vaksin cuy”.
Kemudian selain dari menarasikan dengan baik tentang vaksinasi ada hal lain yang menjadi pertimbangan berat bagi masyarakat untuk menerima vaksi. Oke, vaksinasi itu buat kita sehat, tapi vaksinnya sudah sertifikat halal MUI? Sudah lulus uji BPOM? Sebenarnya jawabannya sudah ada di MUI dan BPOM itu sendiri. Tinggal kitanya mau mencarinya atau tidak.
Menjadi titik kritis disini adalah mengapa pertanyaan itu muncul. Apakah sertifikat halal MUI terhadap vaksin yang ada sudah tersosialisasi yang baik? Apakah ada vaksin yang tidak diperiksa oleh BPOM, kemudian digunakan di masyarakat? atau hal yang mendasar disini adalah ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah? Wallahu a’lam bishawab
Penutup, kembali kita ambil pesan yang diutarakan oleh Yanita Utami. “Mari kita mencoba untuk husnudzhon, karena Allah sesuai apa yang diprasangka hamba-Nya. Khawatirnya kalau suudzhon kejadiannya beneran terjadi.
Memang sedikit mengerikan dengan teori konsipirasi, tapi berhubung kebijakan pemerintah bukan ditanganku dan ikhtiarnya adalah percaya sama ahli ilmu, BPOM dan Fatwa Ulama MUI. Sekaligus berdo’a yang baik atas segala sesuatu yang tidak bisa kita kontrol, semoga hal-hal yang jahat dijauhi dari Indonesia. Semoga Allah selalu jaga Indonesia, memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada para pemimpin, pemegang amanah serta seluruh warga Indonesia.
Vaksin bisa dijadikan alat untuk kepentingan orang-orang tertentu, tapi vaksin bisa menjadi solusi bagi penyakit tertentu. Pointnya pentingnya adalah menjadi fardhu ‘ain buat kita, jika kita memiliki kapasitas, untuk fokus mengambil bidang keilmuan tertentu dalam hal ini misalnya keilmuan tentang virus, sampai menjadi otoritatif, sehingga umat tidak lagi diombang-ambing atau di manipulasi oleh kepentingan orang lain.”