Oleh Jemmy Ibnu Suardi
Presiden Republik Indonesia telah mengumumkan personil baru dalam kabinetnya. Satu tahun pemerintahan Jokowi-Ma’ruf kinerja kabinet tidak memberikan efek yang meroket nampaknya, terlebih kondisi global yang sulit dengan pandemi Covid-19. Ditambah lagi dua menteri tertangkap KPK. Ibarat tim sepakbola 10 menit awal sudah kebobolan banyak, sebagai pelatih tentu merasa gusar, maka harus dimasukan pemain baru, super sub istilahnya, agar merubah keadaan, sekurang-kurangnya sebelum turun minum babak pertama, keadaan bisa berubah imbang, untung kalau bisa menang.
Khusus Kementerian Agama, sepertinya ini menjadi kementerian krusial dan menjadi noktah merah di awal pemerintahan Jokowi periode kedua, tatkala seorang pensiunan Jenderal ditempatkan di posisi tersebut. Tak kurang-kurang statemen kontraproduktif dan meresahkan keluar dari mulut pensiunan Jenderal tersebut. Isu radikalisme agama menjadi perhatian utama ketimbang isu ekonomi, namun ketika seorang berlatar belakang militer ditempatkan sebagai menteri agama demi melawan radikalisme agama, alih-alih mendapatkan dukungan malah yang terjadi malah kegaduhan, penolakan dan cercaan dimana-mana.
Sebagai pamungkas “pengalihan isu” dalam tanda petik, nampaknya isu kontra radikalisme-fundamentalisme agama tetap menjadi pokok utama narasi keagamaan pemerintahan Jokowi jilid II. Dengan mengedepankan yang disebut dengan istilah moderasi Islam yang ramah, bukan Islam yang marah. Istilah Islam ramah yang selama ini di asong kalangan pragmatis, benar-benar menjadi daya tawar untuk duduk dilingkaran elit kekuasaan.
Demi mendapatkan dukungan kelompok mayoritas Nahdiyin yang sempat kecewa karena ditempatkannya seorang pensiunan Militer di posisi Menteri Agama, adalah tepat guna memperbaiki keadaan dengan menempatkan seorang Ketua GP Anshor sebagai seorang Menteri Agama. Track record Yaqut, ketua GP Anshor memang telah memposisikan diri dan merepresentasikan, mendaku diri sebagai Islam ramah tersebut. Posisinya jelas, melawan kelompok radikal dan fundamentalis.
Jika kita coba menganalis, narasi Islam ramah seperti apa yang akan dipasarkan Yaqut Cholil Qoumas, maka kita akan mudah menduga. Menteri agama yang baru akan menyampaikan tentang narasi anti radikalisme dan anti fundamentalisme. Menjadi Islam ramah, dimana makna ramah ini adalah mereka yang anti syari’ah, anti khilafah. Ramah adalah mereka yang ikut merayakan hari besar agama lain bersama. Ramah adalah mereka yang tidak anti Yahudi, tidak anti Israel. Ramah adalah mereka yang mendukung LGBT dan kesetaraan gender. Ramah adalah mereka yang ketika Nabi Muhammad SAW dihina maka dibalas dengan senyuman. Ramah adalah mereka yang tidak kritis dengan kebijakan pemerintah. Ramah adalah mereka yang tidak malu duduk bersama orang-orang yang zalim.
Apakah Yaqut Cholil Qoumas akan lebih baik daripada Jenderal Haji Fachrurazi? Nampaknya kita tak bisa berharap banyak. Polarisasi masyarakat Indonesia kadung semakin membesar, apalagi sejak ditutupnya rest area KM.50 suasana makin sulit dikendalikan. Jokowi seharusnya menempatkan seorang tokoh yang benar-benar ramah, yang diterima oleh semua pihak, seorang tokoh yang duduk sebagai Menteri Agama mesti merangkul dan mengakomodasi semua golongan Islam di Indonesia, bukan justru menganak-tirikan satu kelompok dan menganak-emaskan kelompok yang lain. Terlebih momok kezaliman dan ketidakadilan terlanjur mencoreng wajah pemerintahan saat ini, efek KM.50. Bangsa ini butuh tokoh yang menyejukkan, bukan justru menjadi kompor gas, memanas-manasi, dan menambah gaduh Republik tercinta ini. Petuah lama orang bijak bangsa ini menyebut Kurang-Kurang Bubur, Lebih-Lebih Sudu Kemenag Baru